Skoring TB Anak
Skoring TB Anak
Untuk mencegah underdiagnosis dan overdiagnosis tuberkulosis paru pada anak, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah memperkenalkan sistem skoring yang mempertimbangkan beberapa faktor seperti riwayat kontak dengan pasien TB, tes Mantoux, status gizi, serta tanda dan gejala klinis pasien. Skor juga dipengaruhi oleh hasil rontgen toraks. Penting untuk dicatat bahwa riwayat kontak dinilai dengan mempertimbangkan hasil konfirmasi uji basil tahan asam (BTA) pada asal pajanan. Dengan sistem skoring ini diharapkan dapat memastikan diagnosis tuberkulosis pada anak yang lebih akurat dan tepat.
Anak dapat didiagnosis tuberkulosis dan diterapi sebagai tuberkulosis jika jumlah skor ≥6. Meski demikian, ada beberapa catatan khusus yang perlu diperhatikan:
- Jika skor 6 diperoleh dari poin kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji tuberkulin positif, namun pasien tidak memiliki gejala klinis, maka pasien belum perlu diberikan OAT. Pasien cukup diobservasi atau diberikan isoniazid profilaksis
- Pasien usia balita dengan total skor 5 dan gejala klinis yang meragukan, perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan lanjut untuk evaluasi lebih lengkap
- Jika skor 5 didapat dari poin kontak BTA positif dan 2 gejala klinis, pada fasilitas kesehatan yang tidak tersedia tes Mantoux, maka diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan dan anak dapat diberi terapi tuberkulosis. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal. Bila pasien mengalami perbaikan klinis, maka terapi dilanjutkan sampai selesai
- Pada wilayah dimana fasilitas kesehatan dasar terbatas dan uji Mantoux dan rontgen toraks tidak tersedia, sistem skoring dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Anak dievaluasi setelah 2 bulan pengobatan. Jika tidak ada perbaikan klinis, maka dokter perlu mempertimbangkan kemungkinan kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, resistensi obat, ataupun ketidakpatuhan terhadap terapi.
Tidak ada komentar: