DEFINISI
Addison’s disease atau insufisiensi adrenokortikal primer adalah
kelainan yang disebabkan oleh ketidakmampuan kelenjar adrenalis (korteks
adrenalis) memproduksi hormon glukokortikoid (kortisol), pada beberapa kasus
didapatkan ketidakmampuan memproduksi hormon mineralokortikoid (aldosteron)
yang cukup bagi tubuh. Pertama kali diutarakan
oleh Thomas Addison sehingga disebut Addison’s disease.1,2
ETIOLOGI
Penyebab insufisiensi
adrenokortikal primer: Addison’s disease3
- Autoimun
- Sporadis
- Sindrom poliendokrin autoimun tipe 1
(penyakit addison, kandidiasis mukokutaneus kronik, hipoparatiroidism, hipoplasia enamel dental, alopesia,
kegagalan gonad primer)
- Sindrom poliendokrin otoimun tipe 2
(sindrom schmidt) (penyakit addison, hipotiroid primer, hipogonad primer, diabetes tergantung insulin,
anemia pernisiosa, vitiligo)
- Infeksi à Tuberkulosis, infeksi jamur, CMV, HIV
- Tumor metastasis
- Infiltrasi à Amiloid, hemokromatosis
Etiologi Addison’s disease juga relatif berbeda bergantung pada usia dan jenis kelamin4:
- Pada saat lahir à Perdarahan adrenal akibat anoksia atau sepsis neonatorum,
- Pada neonatus à HAK
- Pada anak yang lebih besar à Sindrom autoimun
poliglandular.
- Pada anak laki-laki lebih banyak
terjadi adrenoleukod istrofi karena banyak ditemukan kelainan pada gen DAX-1
- Pada pasien dewasa lebih sering ditemukan karena infeksi dan metastasis tumor.
DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Gejala paling utama yang membedakan hipoadrenal primer dengan sekunder
adalah pigmentasi kulit, yang selalu ada pada kasus insufisiensi adrenal primer
tetapi tidak dijumpai pada insufisiensi sekunder.3
Tabel 1. Gejala, tanda, dan kelainan biokimiawi Addison’s disease4
Gejala
|
Tanda
|
Kelainan
Biokimiawi
|
Kelelahan (fatigue)
|
Hipotensi
postural
|
Renin plasma
tinggi dan/atau meningkatnya kadar ACTH malam hari
|
Kelemahan otot
|
Berat badan
menurun
|
Kadar kortisol
tetap rendah pada tes stimulasi ACTH
|
Nyeri perut
|
Hiperpigmentasi
seluruh tubuh, garis telapak tangan menghitam, pigmentasi mukosa bukal dan
kuku
|
Saat krisis
terjadi normo/hiponatremia, hiperkalemia, dan hipoglikemia
|
Muntah
|
Vitiligo dan struma
|
|
Diare
|
|
|
Suka makan garam
|
|
Eosinofilia
|
Perubahan
perilaku
|
|
Limfositosis
|
Sakit kepala
|
|
|
Berkeringat
|
|
|
Depresi
|
|
|
Nyeri otot dan
sendi
|
|
|
1. Pemeriksaan hematologis: Anemia normositik, limfositosis relatif, dan
eosinofilia
2. Pemeriksan elektrolit: Kadar sodium rendah (90%), kadar potassium meningkat (65%).
3. Tes stimulasi ACTH: Tes skrining insufisiensi adrenal. Pada orang sehat pemberian suntikan
ACTH akan meningkatkan
kadar kortisol sedangkan pada penyakit Addison tidak. Tes ini tidak dapat
membedakan sebab primer atau sekunder.
4. Kadar ACTH plasma: Setelah tes stimulasi ACTH perlu dibedakan antara
penyebab primer/ penyakit Addison dan penyebab sekunder à Pengukuran kadar ACTH puasa.
a. Pada penyebab primer kadar ACTH plasma puasa sangat meningkat (>52 pg/mL)
b.
Pada penyebab sekunder kadar ACTH plasma puasa tetap normal
5. Tes autoantibodi terhadap kelenjar adrenal: Imunofluoresensi indirek à Ditemukan antibodi menunjukkan adanya insufisiensi adrenal
primer autoimun
6. Pemeriksaan radiologis: CT Scan dan MRI dapat membantu menganalisa
kelenjar adrenal dan kelenjar hipofise sehingga
dapat diketahui penyebab insufisiensi
kortisol.
|
Gambar 1. Evaluasi Penderita dugaan Insufisiensi Adrenal3 |
TATALAKSANA3
Terapi sulih hormon harus memperbaiki
baik defisiensi glukokortikoid maupun mineralokortikoid.
1.
Hidrokortison (kortisol) merupakan pilihan utama
dengan dosis sekitar 20-30 mg/hari.
-
Dianjurkan minum obat bersama makan/susu/antasida
-
2/3 dosis pada pagi hari, 1/3 dosis pada sore hari
2. Fludrokortison 0.05-0.1 mg per hari. Pasien diingatkan untuk cukup mengkonsumsi garam (2-3 gram per hari)
3. Pada wanita à Androgen rendah à DHEA 25-50mg per oral
PROGNOSIS
Kecuali risiko krisis adrenal, kesehatan dan usia pasien biasanya normal,
sedangkan pigmentasi dapat menetap.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ardiany
D, Wibisono S, Pranoto A. Seorang Penderita Addison’s Disease Dengan Dugaan
Autoimmune Polyglandular Syndrome Type 2. In: Forum Endokrinologi Nasional VII.
Jakarta: PB PERKENI; 2019. p. 57–64.
2. Sanjaya
A. Addison’s disease. J Ilm Kedokt Wijaya Kusuma. 2012;1(1):59–65.
3. Adi
S, Pranoto A. Gangguan Korteks Adrenal. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Stiyohadi B, Syam AF, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta:
InternaPublishing; 2014. p. 2484-513
4. Pulungan
AB, Siregar CD, Aditiawati, Soenggoro EP, Triningsih E, Suryawan IWB, Soesanti
F. Korteks Adrenal dan Gangguannya. In: Batubara JRL, Tridjaja B, Pulungan AB, editors. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2010. p. 251-95
|
Addison's Disease |
Tidak ada komentar: